Jumat, 10 Juli 2009

Beauty in Deconstructivist Architecture




“We don’t want architecture to exclude everything that is disquieting. We want architecture to have more… Architecture should be cavernous, fiery, smooth, hard, angular, brutal, round, delicate, colorful, obscene, voluptuous, dreamy, alluring, repelling, wet, dry and throbbing.” (Himmelblau 1988: 95)

Apabila kita melihat dekonstruksi arsitektur dimana ia menggunakan geometri sebagai ekspresi kebebasan bentuk dalam berarsitektur, bagaimana bila ia dihubungkan dengan prinsip Vitruvius dalam buku Ten Books on Architecture? Dapatkah saya mengatakan bahwa keindahan yang menurut Vitruvius adalah ketika elemen pembentuk berada dalam proporsi yang sesuai dengan prinsip simetri tidak berlaku dalam dekonstruksi arsitektur? Mungkinkah mengatakan sesuatu yang brutal, berada di luar konsep harmony, unity dan stability dapat kita katakan beauty?

“…and beauty, when the appearance of the work is pleasing and in good taste, and when its members are in due proportion according to correct principles of symmetry” (Vitruvius: Ten Books On Architecture. Book One. Chapter Three)

Secara pribadi, well, saya mengatakan bahwa karya – karya mereka sangat indah karena menggambarkan adanya kebebasan dari keterikatan aturan proporsi dan simetri. Karya – karya mereka menggambarkan lepasnya diri mereka dari doktrin ataupun pengalaman manusia di masa lalu. Pengalaman dari masa lalu, contohnya pendidikan yang diperoleh dari masa Taman Kanak – Kanak hingga SMU, kita hanya dikenalkan pada bentuk – bentuk geometri dasar; kubus, pyramid, balok, prisma, silinder, bola, dan lainnya. Pada saat itu, karakter diri kita sebagai pihak pasif yang menerima begitu saja, tanpa disadari membentuk pemikiran tersendiri bahwa itulah yang dimaksud geometri. Apakah memang geometri hanya sekedar itu? Padahal bila kita telaah kembali arti kata geometri, yaitu mengukur bumi (measuring the earth), geometri bukan hanya sekedar itu. Bumi adalah alam, dan alam, menurut saya, secara mendasar adalah suatu hal yang dinamis dan tidak statis atau diam, dalam arti penuh perubahan. Alam adalah suatu hal yang dapat saya katakan bebas, tidak terikat. Dari pemahaman ini, saya kemudian menyimpulkan bahwa geometri adalah suatu hal yang bebas dan penuh kedinamisan.

Kembali kepada topik, jika memang segala yang kita katakan indah adalah berdasar apa yang dikatakan Vitruvius, maka dapatkah saya katakan bahwa dekonstruksi arsitektur tidak memiliki nilai keindahan? Melihat karya mereka tidak berdasar pengetahuan atau pengalaman banyak orang yang cenderung melihat keharmonisan dalam bentuk ataupun berdasar feeling akan adanya proporsi. Mereka juga tidak melakukan perhitungan matematika terlebih dahulu untuk menemukan nilai phi. Keindahan menurut Vitruvius, tidakkah ia bersifat mengikat terhadap bentuk arsitektur yang ada? Apakah adanya golden section untuk menemukan proporsi yang baik sedikit ‘kejam’ sehingga apapun yang berada di luar hitungannya tidak dapat kita katakan indah? If that so, then what will we call this deconstructivist architecture? Bad? Ugly?

Reference:
1. Johnson and Wigley. Deconstructivist Architecture. The Museum of Modern Art, New York.

2. Vitruvius. The Ten Books on Architecture.

3:sheilanarita:.

posting: Sukma hadi,ST

Tidak ada komentar:

Posting Komentar